Minggu, 01 November 2009

Pulang

Dua orang pegawai tampak masih sibuk pada pekerjaannya, meski malam sudah mengisyaratkan mereka untuk istirahat. Di gedung megah yang sehari-hari menjadi kantor tempat mereka berkerja itu sudah tidak ada lagi pegawai. Kecuali, petugas keamanan malam.

Salah seorang yang bertubuh kurus pun berujar, ”Ah, hari yang melelahkan. Saatnya pulang ke rumah.”

Seorang yang agak gemuk hanya menoleh sebentar, kemudian kembali dengan kesibukannya. Ia hanya membalas ucapan temannya yang mulai berkemas dengan senyum. “Aku lembur lagi!” ucapnya singkat.

“Apa kamu tidak kangen dengan isteri dan anak-anakmu?” tanya si kurus mulai beranjak menuju pintu.

”Entahlah, aku merasa lebih nyaman berada di sini,” jawab si gemuk sambil terus sibuk dengan pekerjaannya. ”Ruangan ini sudah seperti rumahku,” tambahnya begitu meyakinkan.

Si kurus menatap temannya begitu lekat. Sebelum langkah kakinya meninggalkan sang teman, ia tergelitik untuk mengucapkan sesuatu, ”Menurutku, kamu bukan tidak ingin pulang. Tapi, kamu belum paham apa arti pulang.”

**
Angan-angan sederhana yang kerap muncul di kepala siapa pun ketika ia begitu lama berada di luar rumah adalah pulang. Seorang pejabatkah, pegawaikah, pengusahakah, pelajar dan mahasiswakah; titik akhir dari akumulasi kelelahannya berinteraksi dengan dinamika hidup selalu tertuju pada pulang.

Kata pulang menjadi perwakilan dari seribu satu rasa yang tertuju pada kerinduan-kerinduan dengan sesuatu yang sudah menjadi ikatan kuat dalam diri seseorang. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dipisahkan, karena dari situlah ia berasal dan di situ pula ia menemukan jati dirinya.

Dalam skala hidup yang lebih luas, pulang adalah kembalinya manusia pada asalnya yang tidak mungkin dielakkan. Apa dan bagaimana pun keadaannya, suka atau tidak pun rasa ingin pulangnya, jauh atau dekat pun perginya, dan ada atau tidaknya kerinduan terhadap arah pulang yang satu ini; setiap kita pasti akan ’pulang’.

Walaupun, tidak sedikit orang yang merasa lebih nyaman berada di dunia ini daripada berhasrat menuju ’pulang’. Persis seperti yang diungkapkan si kurus kepada temannya, ”Kita bukan tidak ingin ’pulang’. Tapi, kita mungkin belum memahami arti ’pulang’.”
(muhammadnuh@eramuslim.com)

Melepas Ajal

Ajal tak ubahnya seperti tagihan utang. Tak diharapkan datang, tapi pasti menyambang. Siapa pun akan dapat giliran kunjungan ajal. Tak peduli usia, apalagi status sosial. Kadang, tak pernah terbayang, kalau ajal siap menjemput orang yang tersayang.

Tak semua kita siap menghadapi kematian orang yang kita sayang. Apakah ibu, ayah, suami, isteri, anak, dan sanak keluarga lain. Dalam ketidaksiapan itu aneka reaksi bisa kita ungkapkan secara tidak sadar. Mulai menangis, marah, bahkan pingsan. Dan itulah yang kini dihadapi Bu Neneng.

Sebulan sudah putera kedua Bu Neneng meninggal dunia. Si bungsu usia tiga tahun ini tak lagi berdaya menghadapi penyakit tipes. Padahal, anak itu menyimpan harapan besar buat Bu Neneng: cakep, pintar, lincah, dan penurut. Masih banyak sifat bagus lain yang hanya dipahami Bu Neneng sendiri.

Masih terbayang bagaimana anak itu shalat. Rajin, tapi lucu. Ia kerap memakai kopiah ayahnya yang tentu saja kebesaran. Satu rukun shalat yang paling si bungsu benci: ruku. Pasalnya, di saat rukulah kopiahnya jatuh. “Yah, copot!” ucap si bungsu dalam kenangan Bu Neneng.

Senyum si bungsu pun belum hilang dalam bayang-bayang Bu Neneng. Manis, menawan. Rasa capek selepas repot-repot di dapur bisa lenyap seketika kalau si bungsu senyum. “Capek ya, Ma?” ucapnya sambil melepas senyum. Bibirnya merekah indah. Tatapan matanya begitu tajam menafsirkan sebuah perhatian yang teramat dalam. Seolah, ia ingin memberikan hadiah sebagai ganti kepayahan Bu Neneng. Tapi, hanya senyum yang bisa dipersembahkan.

“Ah, anakku…,” suara Bu Neneng tertahan. Ibu yang juga pegawai di sebuah perusahaan swasta ini seperti terseret dalam bayang-bayang gugatan si bungsu. Kalau sudah begitu, ia tenggelam dalam perasaan bersalah. Ia merasa, kesibukannya di kantor telah memecah dua dunia miliknya. Dunia ibu dan wanita yang ingin mengembangkan potensi dan karir.

Namun, ketajaman gugatan itu acapkali ditumpulkan suami Bu Neneng. “Kamu bukan tipe ibu yang menelantarkan anak. Dan lagi, jam kerja kamu kan cuma enam jam sehari,” ucap sang suami meyakinkan. Saat itu juga, semangat Bu Neneng kembali segar. Ucapan suaminya benar-benar meluruskan kebengkokan rasa hatinya yang sedang tak karuan.

Bu Neneng juga pernah menyalahkan pembantunya. “Gimana sih, Mbok. Anak sakit kok nggak cepet dibawa ke dokter! Dasar dusun!” gertak Bu Neneng suatu hari. Marahnya tak lagi terkendali. Ia lupa kalau marahnya sedang tertuju ke seorang wanita tua yang sebaya dengan ibunya. Santunnya tiba-tiba menguap entah kemana. Dan, air mata Mbok Inahlah yang akhirnya meredam emosi Bu Neneng. Isak tangis wanita yang pernah merawatnya saat kecil kembali meluruskan nalar Bu Neneng.

Sayangnya, nalar itu datang terlambat. Mbok Inah sudah terlanjur sakit. Hatinya seperti terkoyak dengan ucapan majikan mudanya. Mbok Inah sebenarnya ingin protes. Bukan cuma Bu Neneng yang kehilangan, ia pun seperti kehilangan permata yang amat berharga. Itu saja sudah bikin hati terpukul. Apalagi kalau disalah-salahkan dengan sebutan ‘dusun’! Sejak itulah, Bu Neneng tak lagi bisa menikmati layanan Mbok Inah. Ibu tua itu telah pulang kampung.

Siapa lagi yang bisa disalahkan? Perasaan itulah yang kerap menusuk-nusuk hati Bu Neneng. Alam bawah sadarnya masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi. Kenapa harus si bungsu. Kenapa bukan orang lain. Kenapa Allah tidak adil!

Buat yang satu ini, kesadaran Bu Neneng benar-benar dalam tingkat yang paling rendah. Dan saat itulah konflik batinnya sudah merenggut pemahamannya tentang takdir. Ia kecewa dengan putusan Allah. Padahal, ia paham sekali kalau Allah Maha Bijaksana. Ia tahu betul kalau sebuah kejadian buruk punya dua sisi: ujian dan hikmah.

Tapi, di situlah masalahnya. Kekecewaan Bu Neneng telah mengubur kesadarannya. Ia tak lagi bisa melihat dua sisi itu. Ujian itu terasa berat buat takaran rasa Bu Neneng. Dan, pandangannya tentang hikmah di balik itu seperti tertutup asap buruk sangka pada takdir. Kenapa harus si bungsu yang baru menikmati hidup tiga tahun? Kenapa bukan dirinya. Ia lebih ridha kalau si bungsulah yang merasakan apa yang saat ini ia rasakan.

Mungkin, saat inilah Bu Neneng merasakan sesuatu yang nyata dari takdir. Bahwa takdir, apalagi yang bersentuhan dengan ajal akan bersinggungan dengan banyak hal. Soal pemahaman, kematangan, kesiapan, kesadaran, dan kesabaran. Betapa sering, ia mengucapkan ‘terimalah apa adanya’ kepada teman yang tertimpa musibah.Tapi, semua itu hanya sebatas pemahaman. Belum yang lain.

Kesadaran Bu Neneng mulai pulih ketika ia mengamati sekitar ruangan rumahnya. Sepi. Tak ada lagi cekikikan tawa renyah si bungsu. Tak ada lagi ucapan ‘Capek, ya Ma?’. Tak ada lagi hiburan kopiah jatuh. Tak ada lagi senyum menawan yang bikin hati nyaman. Itulah kenyataan. Kehidupan itu nyata, kematian pun ada. Kalau berani menerima kehidupan, kenapa takut menemui kematian. “Bungsuku memang telah tiada,” bisik hatinya yang paling dalam. Pelan tapi pasti, kesadarannya mulai bangkit.

Kesadaran Bu Neneng mengingatkannya pada sosok seorang muslimah di masa Rasulullah, Ummu Sulaim. Seorang ibu yang justru menyembunyikan berita kematian putera tunggalnya dari sang ayah yang berpergian jauh. Ia khawatir kalau suaminya kaget. Dengan kesabaran, kesadaran, dan kedewasaan, berita itu tertutur manis dari mulutnya. “Sang Pemilik telah mengambil milik yang dititipkanNya,” itulah ucapan Ummu Sulaim ke suaminya.

Betapa ia sudah sangat hafal tentang kisah itu, tapi baru kali ini bisa melahirkan kekaguman. Tidak semua pengetahuan membuahkan kesadaran. Dan kali ini, ia benar-benar merasa kerdil jika dibandingkan dengan kisah yang sering ia ucapkan itu. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa menyiasati berita kematian putera tunggalnya.

“Astaghfirullah!” Bu Neneng mulai menyesali diri. Entah berapa korban yang telah jadi sasaran kepicikannya. Entah bagaimana perasaan Mbok Inah yang kini di kampung. Dan satu lagi, ia telah menggugat kebijaksanaan Yang Maha Bijak, Allah swt.

Kehidupan dan kematian memang rahasia Allah. Tak seorang pun yang tahu, apa yang dilahirkan kehidupan. Dan tak satu pun mengira, siapa yang dijemput kematian. Ajal memang tak ubahnya seperti tagihan utang. Cuma bedanya, ajal datang tak bilang-bilang.

(muhammadnuh@eramuslim.com)

Sabtu, 31 Oktober 2009

Tawakkal hanyalah kepada Allah

Masalah bertawakkal atau menyerahkan segenap urusan kepada Allah merupakan masalah yang berkenaan dengan keyakinan atau ’aqidah Islamiyyah. Barangsiapa yang senantiasa menyerahkan segenap urusan hidupnya hanya dan hanya kepada Allah, maka selamatlah dia. Sebab sikap demikian merupakan perintah langsung dari Allah sendiri. Dan sikap tawakkal kepada Allah merupakan indikasi iman yang sebenarnya.

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS AlMaidah ayat 23)

Ajaran Tauhid mengarahkan seorang hamba Allah agar senantiasa menggantungkan harapannya hanya kepada Allah. Islam melarang manusia untuk menggantungkan harapan kepada selain Allah. Mengapa? Karena selain Allah Sang Pencipta, maka semua yang ada di dunia hanyalah merupakan makhluk ciptaan Allah. Bagaimana mungkin seorang manusia yang telah mengimani bahwa Allah merupakan Pencipta segala sesuatu yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa akan berfikir untuk mengalihkan tempat bergantungnya kepada makhluk ciptaan Allah yang lemah dan juga sama-sama bergantung dan berharap kepada Allah?

Namun dalam mengarungi kehidupan fana di dunia tidak sedikit orang yang telah mengaku beriman kemudian menjadi terkecoh. Ada sebagian di antara mereka menyangka bahwa kemuliaan, kehormatan, kejayaan dan kemenangan dapat diraih melalui sikap menggantungkan harapan kepada selain Allah. Mereka kemudian menjadikan sebagian perhiasan dunia sebagai andalan utamanya. Mulailah mereka kemudian turut berlomba memperebutkan dunia sebagaimana orang-orang kafir memperebutkannya. Jika orang-orang kafir memperebutkan dunia karena berkeyakinan bahwa tanpa dunia ia tidak akan berjaya, maka ini sudah merupakan hal yang sewajarnya. Kenapa? Karena mereka memang tidak tahu apa-apa kecuali mengenai hal-hal lahiriah dari kehidupan dunia ini. Mereka samasekali tidak peduli bahkan tidak percaya adanya Allah sebagai tempat berharap yang semestinya. Mereka juga tidak meyakini adanya kehidupan lain yang lebih hakiki dan lebih pantas diperebutkan, yaitu kampung akhirat.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
”Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS ArRuum ayat 7)
Jika orang-orang kafir memiliki sikap tawakkal kepada selain Allah, maka hal ini dapat dimengerti. Karena demikianlah Allah gambarkan ciri-ciri mereka. Namun yang kita sulit untuk fahami ialah bilamana ada sebagian orang yang mengaku beriman namun bersikap sebagaimana orang-orang kafir tersebut. Mereka menyerahkan ketergantungan mereka kepada dunia, kepada harta, popularitas dan kekuasaan untuk meraih kejayaan dan kehormatan. Mereka mengira bahwa kemenangan dan kejayaan ummat Islam hanya akan berhasil diraih bilamana sudah memiliki resources alias sumber-daya yang banyak (tanpa peduli bagaimana cara memperolehnya). Mereka menyangka bahwa hanya dengan jalan berkuasalah ummat Islam dapat dikatakan meraih kehormatan dan kemuliaan. Logika yang mereka kembangkan persis mirip logika orang-orang kafir. Hanya bedanya semua itu mereka bungkus dengan legitimasi yang bersumber dari ayat dan hadits.

Bahkan yang lebih memprihatinkan ialah sikap orang-orang ini dalam hal memperlakukan jalan hidup atau agama Allah, Al-Islam. Mereka tidak lagi memiliki keyakinan penuh bahwa dienullah (jalan hidup Allah) merupakan solusi tunggal untuk mengatasi berbagai problem hidup. Mereka tetap mengaku Muslim, namun dalam menerima Islam mereka memandang perlu untuk memberikan ajaran atau faham tambahan sebagai ”pelengkap” jalan hidup Allah. Mereka takut dan tidak sepenuhnnya yakin bahwa Islam merupakan dien syamil (komprehensif), kamil (sempurna) dan mutakaamil (saling menyempurnakan). Sehingga kadang-kadang mereka merasa perlu untuk menyatakan bahwa Islam yang diperjuangkan sejalan dengan Nasionalisme, Demokrasi, Humanisme atau Pluralisme. Berbagai faham bikinan manusia tadi disandingkan bersama Islam yang katanya mereka perjuangkan karena mereka perlu mendapatkan pengakuan dari manusia-manusia penganut sejati faham-faham bikinan manusia tersebut. Mereka sangat khawatir mendapat tuduhan kaum fanatik, ekstrimis, fundamentalis dan anti-HAM bilamana mengatakan Islam saja ideologi perjuangannya. Seolah mereka tidak yakin bahwa agama Allah sudah cukup untuk menjadi solusi tunggal problema kehidupan. Sikap ini sangat mirip dengan gambaran Allah mengenai kaum munafiqun dan orang-orang berpenyakit di dalam hatinya.

إِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ غَرَّ هَؤُلَاءِ
دِينُهُمْ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”(Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-orang mu'min) ditipu oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS Al-Anfal ayat 49)

Ayat di atas turun berkenaan dengan sikap tawakkal orang-orang beriman kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala saat akan berperang menghadapi pasukan musyrikin yang jumlahnya lebih banyak daripada orang-orang beriman. Maka dalam keadaan seperti itu kaum munafiqun dan orang-orang berpenyakit di dalam hatinya memandang orang-orang beriman sebagai menempuh jalan konyol karena tetap bersikeras hendak menghadapi kekuatan musuh yang tidak berimbang. Orang-orang beriman dianggap sebagai berlaku ”tidak realistik”. Sedemikian rupa cara pandang mereka sampai-sampai tega mengatakan: ”Mereka itu (orang-orang mu'min) ditipu oleh agamanya". Tetapi pada saat itu Allah justru berfihak kepada sikap orang-orang beriman dengan firmanNya: "Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Allah memberikan jaminan ketenteraman batin kepada orang-orang beriman dengan menegaskan bahwa barangsiapa menggantungkan harapannya (bertawakkal) kepada Allah berarti ia telah menyerahkan dirinya kepada Yang Maha Perkasa. Adakah fihak lain yang sanggup mengalahkan Yang Maha Perkasa? Tentunya tidak ada...!!!

Di zaman modern (baca: di zaman penuh fitnah) dewasa ini tidak sedikit kita jumpai kaum muslimin yang sedemikian rupa telah terjebak ke dalam logika berfikir kaum kuffar yang Allah taqdirkan sedang mendominasi dunia pada skala global. Mereka kehilangan sikap tawakkal-nya kepada Allah sehingga keyakinan bahwa Islam merupakan solusi tunggal berbagai problema hidup telah digantikan dengan sikap tawakkal kepada faham bikinan manusia seperti Demokrasi, Nasionalisme, Humanisme dan bahkan Pluralisme. Memang sih, mereka masih tetap menyatakan bahwa Islam merupakan jalan keselamatan. Namun bersama dengan ucapan itu mereka merasa wajib untuk menyatakan bahwa berbagai faham bikinan manusia tersebut tidaklah bertentangan alias selaras dengan ajaran Allah Al-Islam.

Lalu mereka memandang aneh kelompok orang-orang beriman yang tetap bersikeras dengan sikap Islam is the only solution. Bila orang-orang beriman berjuang dan berda’wah dengan menyatakan bahwa hanya dengan kembali kepada Allah sajalah, kembali kepada Syariat Islam sajalah kita akan selamat apalagi diiringi dengan ajakan untuk meninggalkan berbagai faham bikinan manusia, maka hal ini oleh kelompok tadi akan dikatakan sebagai sikap ”tidak realistik”. Mereka akan segera berkata: ”Bagaimana mungkin kita berjuang tanpa demokrasi dan nasionalisme? Ini kan sudah menjadi pandangan umum masyarakat... Bagaimana perjuangan kita akan didukung masyarakat luas bilamana kita belum apa-apa sudah menolak faham umum yang sudah berlaku...?” Tidakkah mereka menyadari bahwa ketika pertama kali Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajak kaum Quraisy kepada kalimat Tauhid Laa ilaha illa Allah mereka segera menunjukkan penentangan akan ajakan beliau tersebut? Sampai-sampai ada yang berkata: ”Hai Muhammad, urusan ini (kalimat Tauhid) sangat dibenci oleh para raja-raja...!”

Oleh karenanya Allah mengabadikan bagaimana para Rasul berjuang. Dalam perjuangan da’wah Islam para rasul samasekali tidak menggunakan bukti-bukti melainkan yang diridhai dan diizinkan Allah. Sedikitpun para Rasul tidak bertawakkal melainkan kepada Allah semata. Sebab mereka merasa berhutang budi kepada Allah yang telah menunjuki mereka ke jalan yang benar.


قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى
مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ وَمَا لَنَا أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا
وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آَذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
”Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal. Mengapa Kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri". (QS Ibrahim ayat 11-12)

Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang hanya bertawakkal kepadaMu, orang-orang yang merasa cukup dengan Islam sebagai jalan hidup dan orang-orang yang merasa cukup menjadikan jalan perjuangan NabiMu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai teladan utama. Amiin ya Rabb.

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا
“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien dan Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai Nabi.”


dikutip dari eramuslim.com